0

HARUS BISA

Posted by Febrilina Pramudiyanti on 07.00 in


Judul               : Harus Bisa
Penulis            : Dr. Dino Patti Djalal
Penerbit          : Red & White Production
Cetakan          : Ketiga di Indonesia 
Tebal               : 434 halaman

Ide membuat buku ini didapat penulis saat membersihkan meja kerjanya dan menemukan nota-nota tulisan tangan SBY di dalam laci. Penulis merupakan juru bicara Presiden bersama dengan Andi Mallarangeng. Perlu diketahui, Presiden SBY sering menulis nota-nota ini dalam rapat Kabinet kepada Menteri dan Stafnya, umumnya berisi instruksi, klarifikasi atau meminta dicarikan informasi.
Seperti yang tertuang di dalam buku ini. ketika membenahi nota-nota ini, penulis langsung sadar bahwa yang ini bukan arsip biasa. Ini adalah sidik jari di era politok penting yang kelak akan dipelajari di sekolah dan kampus. Dan sidik jari SBY ini ada di mana-mana : dalam berbagai keputusannya, pidatonya, gebrakannya, pikirannya, tindakannya, konflik batinnya. Semua ini adalah jejak-jejak sejarah yang masih segar di depan mata. Dari sinilah timbul gagasan penulis untuk membuat catatan harian untuk merekam peristiwa-peristiwa di Istana.
Dari judulnya -Seni Memimpin a la SBY- sudah dapat diduga berisi mengenai cara memimpin SBY. Susilo Bambang Yudhoyono merupakan Presiden ke-6 dan ke-7 Indonesia. Dalam buku ini diterangkan bagaimana SBY memimpin dalam krisis, memimpin dalam perubahan, memimpin rakyat dan menghadapi tantangan, memimpin tim dan membuat keputusan, memimpin di pentas dunia dan juga memimpin diri sendiri.


Memimpin dalam Krisis
26 Desember 2004 terjadi tsunami di Aceh. Bencana terbesar yang pernah dialami Indonesia. Malam sebelumnya SBY hadir dalam acara Natal di Jayapura yang sudah lama dipersiapkan namun acara dipersingkat dan atas permintaan Presiden dimulai dengan mengheningkan cipta dan berdoa bagi para korban di Aceh.
Keesokan harinya, Presiden SBY tiba di Banda Aceh dan menjadi lebih shock melihat kondisiyang sebenarnya di lapangan. Hari itu, Presiden mengelilingi Banda Aceh, mengunjingi Masjid Baiturrahman, melihat rumah sakit yang penuh pasien, memandang ribuan rumah dan gedung yang hancur, menyaksikan tumpukan mayat yag mulai membusuk.
Di awal bulan Januari 2005, perhatian Pemerintah sepenuhnya tercurah pada operasi tanggap darurat di Aceh. Bantuan nasional maupun internasional semakin deras mengalir ke Aceh, sementara pasukan militer negara-negara sahabat, bekerjasama dengan TNI, semakin banyak berdatangan.
Di tengah krisis tsunami yang luar biasa ini, Presiden SBY diam-diam melihat satu peluang: “Mungkinkah tsunami mengakibatkan perdamaian? Mungkinkah penderitaan rakyat yang begitu luar biasa menciptakan dorongan moral dan politik untuk mengakhiri konflik yang sudah 30 tahun membara di Aceh? Mungkinkah dimulai perundingan baru engan GAM?”
Kesepakatan Helsinki merupakan satu-satunya penyelesaian konflik besar di dunia internasional saat itu. Sementara senjata-senjata GAM dimusnahkan di Aceh, konflik di Irak, Afganistan, Libanon , Palestina, Sri Lanka, Sudan terus berkecamuk. Jangan lupa, Sri Lanka juga diserang tsunami yang dahsyat dan kehilangan banyak korban. Namun entah kenapa, krisis tsunami tidak dimanfaatkan untuk menggolkan proses perdamaian dan akibatnya sampai sekarang, konflik bersenjata antara Pemerintah dan pemberontakan macan Tamil terus berjalan.

Memimpin dalam Perubahan
Hari itu tanggal 20 Oktober 2004, SBY dilantik menjadi Presiden Indonesia ke-6. Yang lebih menyita perhatian SBY adalah masalah pidato pelantikan Presiden. SBY ingin sekali setelah beliau dan Jusuf Kalla dilantik, beliau dapat menyampaikan pidato pelantikan. Namun entah kenapa, keinginanan itu ditentang oleh sejumlah anggota MPR. Beberapa malah mengancam akan menginterupsi acara dengan bertubi-tubi apbila SBY jadi berpidato di depan MPR.
Setelah menerima hasil rapat gabungan MPR tesebut, SBY mengambil keputusan yang tepat dan kreatif: “Ya sudah. Saya tentu tidak berpidato di MPR. Namun segera setelah pelantikan, saya langsung ke Istana untuk menyampaikan pidato pada rakyat, siaran langsung ke seluruh tv.” Cerdas, karena tidak ada yang bisa memaksa Presiden untuk berpidato dar kantornya sendiri di Istana.

Memimpin Rakyat dan Menghadapi Tantangan
Suatu hari di awal tahun 2008, dalam kunjungan ke sekolah di Jawa Timur, SBY berdialog dengan sejumlah orang tua murid. Seorang ibu menyatakan terima kasih atas fasilitas sekolah gratis plus tambahan dana baik dari Pemerintah Pusat maupun dari Pemda DKI untuk keperluan sekolah anak mereka.
Ibu itu kemudian menyatakan pertanyaan yang spesifik: “Pak Presiden, kalau bisa saya minta bantuan untuk anak saya ini diteruskan sampai ke Universitas nanti.” Ibu itu pintar mencari kesempatan menodongSBY, karena dialog ini disorot dan direkam oleh puluhan wartawan dari berbagai media.
SBY menjawab: “Ibu, saya mengerti kesulitan ibu dan harapan ibu yang begitu besar untuk anak ibu. Tapi saat ini yang pemerintah mampu bantu adalah pendidikan wajib sembilan tahun. Untuk mahasiswa memang ada program beasiswa bagi yang berprestasi. Oleh karena itu, saya tidak dapat berjanji untuk membebaskan biaya bagi yang ikut pendidikan di Universitas.” SBY kemudian menjelaskan kebijakan Pemerintah dan berbagai kendala yang dihadai, terutama kendala dana, tanpa janji akan memberikan apa yang diminta ibu tersebut.

Memimpin Tim dan Membuat Keputusan
Kemampuan memilih tim adalah kunci dari sukses. Kemampuan ini juga merupakan cerminan kepemimpinan. Hal inilah yang dihadapi SBY menjelang disumpah menjadi Presiden.
Setelah SBY diumumkan memenangkan pemilu 2004 dan dipastikan menjadi Presiden terpilih, Presiden Megawati mengirim surat ke DPR yang mencalonkan Kasad Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu menjadi Panglima TNI, menggantikan Jenderal Tni Edriartono Sutarto yang akan pension. Surat itu dikirim tanggal 8 Oktober 2004, dua minggu sebelum SBY dilantik menjadi Presiden.
Yang menjadi masalah bagi SBY bukanlah kompetensi atau pribadi Jenderal Ryamizard., namun masalah prosedural dan politis yang ditimbulkan dari Istana Presiden. Bagi SBY, jabatan Panglima TNI adalah jabatan yang sangat strategis. Jabatan Menteri di Kabinet bisa diatur dalam paket politik, namun jabatan Panglima TNI harus murni dipilih Presiden sendiri. Akhirnya, SBY memperpanjang masa tugas Jenderal TNI Edrianto sebagai Panglima TNI selama setahun.

Memimpin di Pentas Dunia
Di awal 2005. Waktu itu penulis mengadakan pertemuan dengan mitra kerja beliau di Gedung Putih, Washington DC. Dalam kunjungan tersebut, penulis mendapatkan sepucuk surat yang ditulis seorang anak SD di Charlevoix, Michigan bernama Maggie. Surat tersebut ditulis Maggie untuk anak-anak di Aceh, namun kerena tidak tahu kepada siapa akan dialamatkan, akhirnya sekolahnya mengirim suar itu ke Gedung Putih.
SBY ternyata tertarik dengan terhadap surat Maggie. Beberapa waktu kemudian, surat itu telah sampai ke tangan seorang anak yang selamat dari bencana tsunami. Anak itu adalah Nada Lutfiyah, yang telah menjadi yatim piatu karena ayah, ibu dan semua saudara-saudaranya hilang dibawa ombak tsunami. Nada kini tinggal dengan seorang sepupunya di Banda Aceh.
Ketika penulis melaporkan surat Nada ke presiden, SBY sedang sibuk mempersiapkan rencana serangkaian kunjungan ke Amerika Serikat, Jepang, dan Vietnam. Di sinilah timbul ie kreatif: surat tersebut tidak akan dikirim dulu kepada Maggie di Michigan, namun akan dibacakan SBY dalam acara resmi di Gedung Putih yang banyak diliput media.

Memimpin Diri Sendiri
Presiden SBY sudah menjanjikan akan membuka balapan internasional, A1 Grand Prix Championship di Sentul dan akan disiarkan langsung di televisi internasional. Presiden SBY dijadualkan mengibarkan bendera start pukul 14.30 tepat. Dalam perjalanan Cikeas Sentul, timbul masalah: tol Jagorawi macet berat ! Ribuan mobil ngantri bumper-to-bumper, bahkan di bahu jalan juga sesak dengan mobil pengunjung yang menuju Sentul. Tim Aju (Advance Team) Presiden sudah memperhitungkan ini, namun ternyata kondisi kemacetan jauh lebih berat dari yang diduga.
Alternatif  naik helicopter, namun akan sulit mencari tempat pendaratan di sekitar jalan tol ataupun kesiapan untuk pendaratan di di sekitar sirkuit. Alternatif lain acara akan dibuka oleh Menpora. Namun tidak bisa, karena ini acara internasional. Akhirnya SBY memutuskan memakai walmot (pengawal motor).
Kehadiran Presiden yang masuk dengan motor disambut riuh oleh para penonton yang mengira ini adalah bagian dari atraksi hari itu. Sebelum turun, Presiden mengucapkan terima kasih pada kopral Sintan, yang mahir membawa presiden berzig-zag di jalan tol di antara ratusan mobil. Sementara itu, tak satupun penumpang mobil yang disalip mengira bahwa yang dibonceng adalah Presiden Republik Indonesia.

Buku ini tidak hanya menyajikan sosok SBY dalam pentas politik Indonesia, tapi dalam konteks dunia. Walaupun tsunami telah meluluh lantakkan Aceh, namun SBY mampu membuatnya menjadi sebuah peluang besar. Yaitu berhasilnya perdamaian dengan GAM. Selain itu berhasil mempersatukan dua orang anak dari AS dan Indonesia melalui surat.
Harus Bisa! Berhasil membuat pembacanya tertawa geli membaca buku ini. Penulis tidak hanya menulis tentang kiprah Presiden dalam politik dan acara-acara kenegaraan. Namun, penulis juga menulis anekdot dalam beberapa bab. Perbincangan mengenai mangga dengan Aburizal (Ical) Bakrie.
Aburizal: “Bapak Presiden, mohon izin, saya ingin protes!!”
Presiden SBY: “Ada apa Pak Ical?” SBY agak heran, karena Menko Aburizal biasana kalem dan jarang sekali melakukan ‘interupsi,’ apalagi sebelum siding dimulai.
Aburizal: “Saya protes karena (Menteri Sekretaris Negara) Pak Hatta itu keterlaluan, Pak. Beberapa hari yang lalu, saya kirim mangga ke rumahnya, tapi ditolak dan dikembalikan ke saya. Saya tahu Pak Hatta itu orang jujur, tapi masak mangga saja dikembalikan!!”
Kontan saja, Presiden SBY dan seluruh tertawa terbahak-bahak. Pak Hatta yang duduk di seberang Pak Ical hanya menyengir masam, sambil tersipu-sipu.
Tidak dinyana, beberapa saat kemudian, Wapres melakukan ‘interupsi’: “Wah, saya juga mau protes, Pak!!”
SBY: “Silakan,” sembari dalam hati bertanya, ada apa lagi ini?
Wapres: “Saya ingin lapor, saya juga dapat kiriman mangga dari Pak Ical. Sudah saya makan dan enak sekali. Tapi jangan-jangan itu mangga yang ditolak Pak Hatta tadi yang dioper ke rumah saya!” Kali ini, Presiden SBY dan seluruh Kabinet, termasuk Pak Hatta, yang tertawa terpingkal-pingkal, kecuali Pak Ical yang senyum-senyum masam.

Tidak membosankan untuk dibaca. Diuraikan dengan bahasa yang santai. Tidak seperti buku-buku dalam sejarah, yang disampaikan kaku. Tampilannya juga menarik. Pertama melihat calon pembaca akan melihat-lihatnya dulu kemudian akan dipinjamnya. Mungkin buku ini hanya ada di perpustakaan, karena tidak diperjualbelikan.


|

0 Comments

Posting Komentar

terima kasih....

Copyright © 2009 Febrilina All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.